Qunut Witir


Definisi Qunut

Secara etimologi, qunut bermakna banyak. Ada lebih dari sepuluh makna sebagaimana nukilan Al-Hâfizh Ibnu Hajar, dari Al-Iraqy, dan Ibnul Araby.
Makna-makna tersebut adalah: 
  1. Doa,
  2. Khusyu’,
  3. Ibadah,
  4. Taat,
  5. Pelaksanaan ketaatan,
  6. Penetapan ibadah kepada Allah,
  7. Diam,
  8. Shalat,
  9. Berdiri,
  10. Lama berdiri, dan 
  11. Kontinu  dalam ketaatan. [Juga ada makna-makna lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthuby 2/1022, Mufradât Al-Qur`ân hal. 428 karya Al-Ashbahâny, dan lain-lain.]
Adapun secara terminologi, qunut bermakna seperti yang disebutkan oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajr Al-Asqalâny rahimahullâh, “Doa dalam shalat pada tempat khusus dalam keadaan berdiri.” [Bacalah Fathul Bâry 2/490.]
Makna secara terminologi inilah yang diinginkan oleh para ulama fiqih dan kebanyakan ulama lain dalam buku-buku mereka. [Lihatlah Zâdul Ma’ad 1/283 karya Ibnul Qayyim.]

Syariat Qunut

Syariat tentang qunut dalam shalat Witir telah sah sebagaimana dalam hadits Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallâhu ‘anhu bahwa beliau berkata,
عَلَّمَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُوْلُهُنَّ فِي الْوِتْرِ اللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ وَعَافَنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
“Rasulullah mengajarkan beberapa kalimat kepadaku untuk saya ucapkan dalam shalat Witir, (yakni) Ya Allah, berilah hidayah kepadaku pada orang-orang yang Engkau beri hidayah, berilah afiyah kepadaku pada orang yang Engkau beri afiyah, naungilah aku pada orang-orang yang Engkau naungi, berkahilah aku pada apa yang Engkau beri, dan jagalah aku dari kejelekan putusan-Mu. Sesungguhnya Engkau memutuskan dan tidak diputuskan terhadap-Mu, dan sesungguhnya tidaklah hina, orang-orang yang Engkau naungi. Maha Berkah Engkau, wahai Rabbkami, dan Maha Tinggi.’.” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq 3/117, Ibnu Abi Syaibah 2/95, Ahmad 1/220, Ibnul Jârûd no. 272, Ad-Dârimy 1/451-452, Abu Dâud no. 1425, An-Nasâ`iy 3/248, Ibnu Mâjah no. 1178, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahd wal Matsâni no. 415-416, Al-Bazzar no. 1336, 1337, Abu Ya’la no. 6762, 6786, Ibnu Khuzaimah no. 1095, 1096, Ibnu Hibban no. 945, Al-Hâkim 3/188, Ath-Thabarâny 3/no. 2701-2707, 2711-2713 dan dalam Al-Ausath 4/no. 3887, Al-Baihaqy 2/209, serta Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8/264, 9/321. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny, dalam banyak buku beliau, dan Syaikh Muqbil dalam, Al-Jâmi’Ash-Shahîh 2/161.]
Dibangun di atas hadits ini, orang-orang Hanafiyah, Hanbaliyah, dan sebagian orang-orang Syâfi’iyah berpendapat akan kesunnahan qunut Witir pada bulan Ramadhan dan selain Ramadhan. Demikian pula yang diriwayatkan dari Al-Hasan, Ibrâhim An-Nakha’iy, dan Ishâq.
Adapun Imam Malik, beliau tidak berpendapat tentang keberadaan qunut Witir.
Adapun Imam Asy-Syâfi’iy, beliau berpendapat bahwa qunut Witir disyariatkan pada pertengahan Ramadhan.

Tarjih

Tentunya bahwa tidak diragukan lagi akan kesunnahan qunut Witir berdasarkan hadits Al-Hasan bin ‘Ali tersebut sehingga tidak ada alasan bagi orang yang melarang pelaksanaannya. Adapun pelaksanaan qunut Witir dari pertengahan Ramadhan, hal tersebut hanyalah diriwayatkan dalam hadits yang lemah. Wallâhu A’lam[Bacalah pembahasan syariat qunut dalam Al-Muhgny 2/580, Bidâyatul Mujtahid 1/204, dan Nailul Authâr.]

Waktu Pelaksanaan Qunut saat Shalat

[Tentang pembahasan ini, bacalah Al-Majmu’ 2/510, 520 karya Imam An-Nawawy dan Fathul Bâry 6/270-277 karya Ibnu Rajab.]
Qunut dapat dilaksanakan sebelum atau setelah ruku’. Akan tetapi, pelaksanaannya setelah ruku’ lebih banyak dilakukan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Al-Imam Al-Baihaqy rahimahullâh berkata, “Rawi-rawi, (dalam) hadits yang berisi penjelasan tentang qunut setelah ruku’, lebih banyak dan hafalannya lebih bisa dipegang. Oleh karena itu, riwayat mereka yang lebih pantas dipakai. Demikian pula, (hadits tentang) pelaksanaan qunut pada zaman Khulafâ` Ar-Râsyidîn radhiyallâhu ‘anhum, yang terdapat pada riwayat-riwayat masyhur dari mereka dan riwayat-riwayat ini, jumlahnya paling banyak.” [Bacalah As-Sunan Al-Kubrâ` 2/208.]
Adapun pelaksanaan qunut sebelum ruku’, dalilnya diterangkan dalam beberapa hadits, yang di antaranya adalah hadits Anas bin Mâlik bahwa beliau berkata,
بَعَثَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعِينَ رَجُلًا لِحَاجَةٍ يُقَالُ لَهُمْ الْقُرَّاءُ فَعَرَضَ لَهُمْ حَيَّانِ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ رِعْلٌ وَذَكْوَانُ فَقَتَلُوْهُمْ فَدَعَا النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ شَهْرًا فِيْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ وَذَلِكَ بَدْءُ الْقُنُوتِ وَمَا كُنَّا نَقْنُتُ قَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ وَسَأَلَ رَجُلٌ أَنَسًا عَنْ الْقُنُوتِ أَبَعْدَ الرُّكُوعِ أَوْ عِنْدَ فَرَاغٍ مِنْ الْقِرَاءَةِ قَالَ لَا بَلْ عِنْدَ فَرَاغٍ مِنْ الْقِرَاءَةِ
“Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang untuk suatu keperluan. Mereka itu disebut sebagai pembaca-pembaca Al-Qur`ân. Mereka kemudian dihadang oleh dua suku Bani Sulaim: Ri’il dan Dzakwan. Kedua suku ini membunuh mereka, maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mendoakan kejelekan untuk mereka selama sebulan pada shalat Shubuh. Hal ini merupakan permulaan keberadaan qunut, (padahal) kami tidak pernah berqunut sebelumnya.” ‘Abdul ‘Azîz -murid Anas- berkata, “Seorang lelaki bertanya kepada Anas tentang qunut tersebut, ‘Apakah dilakukan setelah ruku’ atau ketika selesai membaca surah (sebelum ruku’)?’ (Maka Anas) menjawab, Tidak. (Yang benar adalah) ketika selesai membaca surah.’.”  [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 4088.]
Juga hadits Ubay bin Ka’ab radhiyallâhu ‘anhu bahwa beliau berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ
“Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berqunut sebelum ruku’.” [Diriwayatkan oleh An Nasâ`i 3/235, Ibnu Mâjah no. 1182, Ad-Dâraquthny 2/31, dan Al-Baihaqy 3/39-40. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny rahimahullâh dalam Irwâ`ul Ghalîl no. 426.]
Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa ada keleluasaan dalam hal ini. Barangsiapa yang ingin berqunut sebelum ruku’, hal itu adalah perkara yang boleh, dan barangsiapa yang ingin berqunut setelah ruku’, tidak ada dosa apapun atasnya.
Pendapat tentang kebolehan memilih salah satu dari dua cara berqunut juga diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Anas bin Malik, Imam Ayyub As-Sikhtiyany, dan Imam Ahmad. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Al-Albâny, dalam Qiyâm Ramadhân hal. 31, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/64-65, dan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun ahli fiqih dari kalangan ahli hadits, seperti Ahmad dan selainnya, membolehkan kedua perkara (tentang cara berqunut), karena sunnah yang shahih datang untuk menjelaskan keduanya, walaupun mereka memilih qunut setelah (ruku’) karena lebih banyaknya (dalil tentang hal tersebut,-pent) dan lebih (mendekati) qiyas ….” [Bacalah Majmu’ Fatâwâ 23/100. Lihat jugalah Al-Inshâf 2/170.]

Tentang Mengangkat Tangan Ketika Berqunut

Yang lebih kuat di antara pendapat para ulama dalam pembahasan ini adalah bahwa tidak ada pensyariatan tentang mengangkat tangan dalam qunut. Ini merupakan pendapat Yazîd bin Abi Maryam, Imam Al-Auzâ’iy, Abu Hanîfah, dan Imam Mâlik. [Lihatlah Al-Mughni 1/448 dan Al-Majmu’ 3/487.]
Pendapat ini dikuatkan karena tidak ada hadits shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan ketika berqunut.
Adapun dalil yang dipakai oleh para ulama, yang berpendapat tentang pensyariatan hal mengangkat tangan dalam qunut, adalah hadits-hadits yang lemah. Dalil mereka yang paling kuat adalah hadits yang diriwayatkan dari jalur Sulaimân bin Al-Mughîrah, dari Tsâbit Al-Bunâny, dari Anas bin Mâlik, tentang kisah para pembaca Al-Qur`ân yang terbunuh. Disebutkan bahwa Anas berkata kepada Tsâbit,
فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ رَفَعَ يَدَيْهَ فَدَعَا عَلَيْهِمْ
“Setiap kali mengerjakan shalat Shubuh, sesungguhnya saya melihat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya untuk mendoakan kejelekan atas mereka (pembunuh para pembaca Al-Qur`ân).” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/137, ‘Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhab hal. 380 no. 1276, Ath-Thabarâny 4/51/3606, dalam Al-Ausath 4/131/3793, dan dalamAsh-Shaghîr 1/323-324/536, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/123-124, Al-Baihaqy 2/211, serta Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad 11/440.]
Namun, hadits ini lemah karena terdapat dua cacat di dalamnya:
  1. Sulaiman bin Mughirah. Beliau adalah seorang rawi yang tsîqah, tetapi beliau telah menyelisihi Hammâd bin Salamah yang meriwayatkan hadits ini dari Tsâbit, dari Anas, dan, dalam riwayatnya, Hammad tidak menyebutkan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya. [Lihatlah riwayat Hammâd dalam Shahîh Muslim 3/1511 no. 677, Musnad Ahmad 3/270, dan Ath-Thabaqât 3/515 karya Ibnu Sa’d.] Hammad bin Salamah ini adalah rawi yang paling kuat riwayat haditsnya dari Tsâbit sebagaimana perkataan Imam Yahyâ bin Ma’in, Abu Hâtim, dan selainnya, “Siapa saja yang menyelisihi Hammâd dalam periwayatan hadits dari Tsâbit, yang didahulukan adalah periwayatan Hammâd.” Bahkan, dalam At-Tamyîz,Imam Muslim menukil kesepakatan ahli ‘ilalul hadits (pakar cacat-cacat hadits) bahwa Hammâd adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari Tsabit. [Bacalah Syarh ‘Ilal At-Tirmidzy 2/790 (cet. Maktabah Al-Manar) dan lain-lain.]
  2. Murid-murid Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu, seperti Qatâdah, Muhammad bin Sîrîn, ‘Abdul ‘Azîz bin Shuhaib, Abu Qilâbah, Ishâq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, Abu Mijlaz, ‘Âshim, Musâ bin Anas, Humaid At-Thawîl, Dâud bin Abi Hind, Hanzhalah bin ‘Abdillah, Abu Makhlad, Marwân Al-Ashfar, dan Ibnu Muhâjir, semuanya meriwayatkan hadits yang semakna dari Anas bin Mâlik tentang pelaksanaan qunut, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika qunut. [Lihatlah riwayat-riwayat mereka pada Shahîh Al-Bukhâry, Shahîh Muslim, dan lain-lain (kami sengaja tidak menyebutkan takhrîj-nya untuk menyingkat pembahasan).] Seluruh hal ini mempertegas kesalahan Sulaimân bin Al-Mughîrah dalam periwayatannya yang menyebutkan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika qunut. Syaikhunâ Muqbil bin Hadi rahimahullâh juga termasuk ulama yang melemahkan hadits ini. Wallâhu A’lam.

Tentang Mengaminkan Doa Qunut bagi Makmum

Syariat akan hal ini telah tetap dalam hadits Ibnu ‘Abbâs. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Qudâmah dalam ucapannya, “Apabila imam berqunut, (doa qunutnya) hendaknya diaminkan oleh orang yang (bermakmum) di belakang imam, dan kami tidak mengetahui bahwa ada perbedaan pendapat dalam pembahasan ini.” [Bacalah Al-Mughny 1/449.]

Kesalahan dalam Hal Mengaminkan

Akan tetapi, perlu diingat bahwa pengaminan hanyalah diucapkan pada lafazh-lafazh doa, bukan pada lafazh pujian. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad dan dibenarkan oleh Imam Al-Hiraqy dan An-Nawawy. [Lihatlah Su`alât Abi Dâud hal. 67 dan Al Majmu’ 3/481 karya An-Nawawy.]
Berdasarkan keterangan ini, tampaklah kesalahan yang sering terjadi di tengah masyarakat umum yang mengaminkan seluruh doa qunut hingga lafazh-lafazh pujian dalam qunut.
Yang dimaksud dengan lafazh-lafazh doa ialah bermula dari kalimat اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيْمَنْ هَدَيْتَ (allâhummah dinâ fî man hadait) hingga وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ (wa qinâ syarra mâ qadhait), sedangkan kalimat setelah فَإِنَّكَ تَقْضِيْ  (fainnaka taqdhî) dan seterusnya adalah lafazh-lafazh pujian.

Etika Imam dalam Doa Qunut

Hendaknya pula imam berdoa dengan lafazh umum (bukan untuk pribadinya) sehingga, ketika mengaminkan doa imam, makmum juga mengambil andil dari doa tersebut. Hal ini ditegaskan demikian karena dua perkara:
Pertama, firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ kepada Nabi Musa dan Nabi Harun‘alaihimâs salam,
قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا
“Sesungguhnya doa kalian berdua telah dikabulkan.” [Yunus: 89]
Kalau memperhatikan ayat sebelumnya, kita akan mengetahui bahwa ternyata yang berdoa hanyalah Nabi Musa ,
رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ. قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا
“Wahai Rabb kami, sirnakanlah harta mereka dan keraskanlah hati mereka. Tidaklah mereka beriman sampai mereka melihat adzab yang sangat pedih.” [Yunus: 88]
Bersamaan dengan ini, Allah menjadikan doa itu untuk mereka berdua. Hal ini karena Nabi Musa berdoa, sementara Nabi Harun mendengarkan dan mengaminkan doa tersebut. [Lihatlah Asy-Syarh Al-Mumti’ 3/86 karya Syaikh Shâlih Al-Utsaimîn dan Majmu’ Fatâwâ 23/116-119 karya Ibnu Taimiyah.]
Kedua, Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh berkata, “Yang tampak bagi saya bahwa hikmah pelaksanaan doa qunut pada saat i’tidâl, bukan pada saat sujud, padahal sujud merupakan momen pengabulan doa sebagaimana (keterangan) yang telah pasti (dari Rabb-nya ketika seseorang sujud) juga (padahal) kebenaran perintah untuk berdoa dalam sujud telah pasti, adalah bahwa yang diinginkan dari qunut nazilah ini adalah agar makmum berserikat bersama imam dalam doa, walaupun hanya mengaminkan.”[Bacalah Fathul Bâry 2/491.]

Tentang Mengusap Wajah Setelah Berqunut

Imam Abu Dâud berkata, “Saya mendengar Ahmad ditanya tentang seseorang yang mengusap wajahnya (sendiri) dengan kedua tangannya (sendiri) bila selesai berqunut, maka beliau menjawab, ‘Saya tidak mendengar tentang itu.’ Pada kesempatan lain, beliau juga berkata, ‘Saya tidak mendengar suatu (riwayat) apapun tentang hal tersebut.’.” Kemudian, (Abu Dâud) berkata, “Dan saya tidak melihat Ahmad mengerjakan hal itu.” [Dari Masâ`il Abi Dâud hal. 71.]
Imam Malik ditanya tentang seseorang yang mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya sendiri ketika berdoa, maka beliau mengingkari perbuatan tersebut sembari berkata, “Saya tidak mengetahui hal itu.” [Bacalah Mukhtashar Qiyâmul Lail hal. 327 karya Muhammad bin Nashr Al-Marwazy.]
Imam Al-Baihaqy berkata, “Adapun tentang mengusap kedua tangan ke wajah selepas doa, tidaklah saya menghafal (hal tersebut) dari seorang pun, dari para ulama salaf, pada doa qunut.” [Bacalah As-Sunan Al-Kubrâ` 2/212.]
Demikian pula simpulan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/53-56. Baca jugalah Irwâ`ul Ghalîl 2/178-181.

Diberdayakan oleh Blogger.